This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

DOWNLOAD BOKEP TERBARU

Jumat, 01 November 2013

sejarah dalam perjanjian bungaya

Sebelum masuk pembahasan ane mau shared profil pottele/psk di Makassar.
1. Linda ( nama samaran)
Lihat profil ( foto & no. Hp tersedia)
2. Mawar ( nama samaran)
Lihat profil (no.hp tersedia)
---------------------------------------------

Tidak banyak orang kenal dengan daerah Bonto Barombong, bila dibandingkan dengan kepopuleran Tana Toraja dengan tongkonannya, Bira dengan kebeningan laut dan pantainya yang berpasir putih lembut, atau Bantimurung dengan air terjunnya yang eksotis, yang kerap menjadi buah bibir, bahkan telah menjadi salah satu daerah unggulan tujuan wisata di Sulawesi Selatan.

Lokasi Perjanjian Bungaya, terletak di dalam rimbunan pepohonan. "Tak banyak yang tahu". (Khairil Anas. 22 Maret 2010)

Beliau menjelaskan, Bongaya berasal dari kata Bonggang yang artinya paha. Dikisahkan, di lokasi yang dipenuhi pepohonan besar itu, Sultan menggunakan pahanya (Makassar: Bonggang) sebagai alas saat menandatangani perjanjian tersebut


Makam Daeng ri Bungaya. Tokoh misterius. (Khairil Anas. 22 Maret 2010)
Penting diketahui, Bonto Barombong sejatinya dapat menjadi daerah tujuan wisata sejarah, setidaknya ini menjadi harapan semua warga yang bermukim di wilayah itu. Bagaimana tidak, kampung tua yang masih berada dalam wilayah Kota Makassar itu menjadi tonggak sejarah perjuangan para pejuang terdahulu dalam melawan Kompeni Belanda. Di Bonto Barombong inilah para pejuang di bawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin dengan sangat terpaksa menyetujui sebuah kesepakatan damai dengan penjajah Belanda.

Bekas-bekas dan jejak sejarah itu sampai sekarang masih dapat ditemui. Namun kurangnya

Dikeramatkan tapi tidak terawat baik. (Khairil Anas. 22 Maret 2010)
perhatian pemerintah dalam melestarikan lokasi tersebut, yang pantas disebut kawasan situs bersejarah, menjadikannya luput dari pengetahuan generasi sekarang –terkesan kurang terawat, kalau tidak mau dikatakan terabaikan. Padahal tidak jauh dari lokasi perjanjian, terdapat Balla Lompoa Barombong, sebuah rumah adat yang dipercaya sering dipakai sebagai tempat beristirahat oleh Sultan Hasanuddin. Di rumah yang sudah beberapa kali mengalami pemugaran ini juga terdapat ranjang yang sering dipakai Sultan.


Berada di antara persawahan warga. "Terancam pembangunan perumahan, dilindas modernisasi buta" (Khairil Anas. 22 Maret 2010)
Terletak di tengah areal persawahan milik warga di Bonto Barombong, di bawah rimbunan pohon mangga dan semak perdu liar, terdapat sebuah kompleks pemakaman. Sepintas tempat tersebut biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Salah satu makam yang berada tepat di bawah rimbunan pohon besar itu dikeramatkan warga. Dipercaya, penghuni makam tersebut adalah Daeng ri Bungaya. Dari cerita turun temurun, Daeng ri Bungaya adalah salah seorang kerabat dekat Sultan Hasanuddin yang ikut menyaksikan penandatangan perjanjian Bungaya. Namun, beberapa warga setempat punya cerita lain. Makam itu sudah lebih dulu ada ketika perjanjian dilaksanakan. Bahkan versi lain yang agak berbau mitos mengatakan, makam tua itu sudah ada sejak Bumi diciptakan.

“Anjo kuburuka simulangi linoa. Anjomintu nikaramakkangi anjo kubburuka. Iyami anjo sombaya, napilei anjo tampakka, untuk appalakkana assitujui parjanjianga.” Kata Daeng Baso, penjaga makam. Kalau diartikan dalam Bahasa Indonesia, artinya kira-kira begini: “Kuburan itu bersamaan

Balla Lompoa Barombong.Tempat Sultan Hasanuddin biasa beristirahat. (Khairil Anas. 22 Maret 2010)
munculnya dunia ini. Itu sebabnya dikeramatkan. Raja (maksudnya Sultan Hasanuddin) memilih tempat itu sekaligus meminta izin disetujuinya perjanjian itu”.

Asal muasal kata Bungaya memiliki banyak versi. Seorang tokoh masyarakat di daerah Barombong, Daeng Manangkasi mengungkapkan, Bungaya berasal dari kata Bunga, yang bermakna kembang. Menurutnya, Perjanjian Bungaya itu ditandatangai dengan harapan terwujudnya perdamaian sebagaimana damainya rupa bunga, dan menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak dari masyarakat Gowa.


Ranjang yang sering dipakai Sultan merebahkan lelah. (Khairil Anas. 22 Maret 2010)
“Perjanjian Bungaya terpaksa di sepakati oleh Sultan agar kerajaan tetap berkembang layaknya bunga,” ungkap Daeng Manangkasi. “Waktu itu Belanda mengancam akan membunuh semua rakyat Kerajaan Gowa, tidak peduli laki-laki, perempuan, anak kecil maupun orang tua,” tambahnya.

Dengan pertimbangan menghindari korban dari rakyat yang tidak berdosa, apalagi mengingat keadaan itu sangat rawan –pengkhianatan yang dilakukan oleh orang dalam, yang berbalik membelot ke Belanda, menjadikan Sultan Hasanuddin terdesak. Strategi terbaik yang bisa beliau tempuh hanya satu, menyetujui perjanjian (yang hakikatnya deklarasi kekalahan Gowa) yang disodorkan Belanda, untuk kemudian menyusun rencana. Maka dengan berat hati Sultan akhirnya menandatangani perjanjian tersebut pada 18 Nopember 1667, yang oleh pihak kompeni diwakili Laksamana Cornelis Speelman. Perjanjian yang dalam istilah Makassar disebut Cappaya ri Bungaya ini ditolak oleh beberapa Bangsawan Gowa. Di antaranya putera Sultan sendiri, yakni Karaeng Galesong bersama sepupunya, Karaeng Naba, termasuk Karaeng Bontomarannu, tokoh buas di medan lautan. Mereka memilih meninggalkan Kerajaan Gowa (Bumi Makassar) ke Jawa dan berkeliaran di lautan bebas. Sementara bangsawan lainnya menyebar ke Sumatera, Kalimantan, dan pulau-pulau lain di Indonesia Timur. Dari titik inilah Diaspora Makassar di jagat Indonesia, bahkan Asia Tenggara menemukan momentumnya. 


Daeng Baso, si penjaga makam. (Khairil Anas. 22 Maret 2010)
“Punna Sombaya (Sultan) tetapki berkeras tena nassitujui anjo parjanjianga, mate ngaseng mi rakya’ka, nibuno kabusu ri Balandaiya, manna anak-anak caddi. Tena maki kamma-kama anne,” (Kalau Sultan tetap berkeras menolak perjanjian itu, semua rakyat akan mati dibunuh oleh Belanda, bahkan anak kecil sekalipun. Kalau itu terjadi, kita semua sekarang ini sudah tidak ada),” kata Daeng Baso.

Sementara Raja Tallo ke XIX, Muhammad Akbar Amir Sultan Aliyah yang bergelar I Paricu Daeng Manamba Karaeng Tanete, memiliki pandangan lain tentang penamaan Bungaya. Beliau menjelaskan, Bongaya berasal dari kata Bonggang yang artinya paha. Dikisahkan, di lokasi yang dipenuhi pepohonan besar itu, Sultan menggunakan pahanya (Makassar: Bonggang) sebagai alas saat menandatangani perjanjian tersebut. Cara ini dilakukan pula pihak Belanda ketika bertanda tangan. Selanjutnya kata Bongganga yang dipakai untuk menamai perjanjian tersebut, yang dilidah kompeni dibaca Bongaisch, sementara lidah kita membacanya Bongaya, yang biasa juga disebut Bungaya.


Daeng Manangkasi.(Khairil Anas. 22 Maret 2010)
Beberapa catatan sejarah juga menyebutkan Bungaya adalah sebuah wilayah yang terletak di sekitar pusat Kerajaan Gelgel di Klungkung, Bali dan memiliki hubungan erat dengan Belanda. Konon Gelgel berusaha memanfaatkan situasi dengan mengirimkan ekspedisi ke Kerajaan Gowa, tetapi ekspedisi tersebut gagal.

Berdasarkan catatan sejarah, perjanjian Bungaya terpaksa ditandatangani karena peperangan yang terus menerus antara Kerajaan Gowa dengan VOC mengakibatkan jatuhnya kerugian dari kedua belah pihak, oleh Sultan Hasanuddin melalui pertimbangan kearifan dan kemanusiaan guna menghindari banyaknya kerugian dan pengorbanan rakyat, maka dengan hati yang berat menerima permintaan damai VOC.


Dipakai sebagai nama jalan. "Menuju ke lokasi". (Khairil Anas. 22 Maret 2010)
Namun perjanjian ini tidak berjalan langgeng. Pada tanggal 9 Maret 1668, Sultan Hasanudin kembali dengan heroiknya mengangkat senjata melawan Belanda yang berakhir dengan jatuhnya Benteng Somba Opu secara terhormat. Peristiwa ini mengakar erat dalam kenangan setiap patriot Indonesia yang berjuang gigih membela kehormatannya.

Masa pemerintahan Raja Gowa XVI, I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe atau yang lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin, merupakan masa keemasan Kerajaan Gowa. Pada masa itu terjadi peningkatan aktifitas pada sektor perdagangan lokal, regional dan internasional, sektor politik serta sektor pembangunan fisik oleh kerajaan. Masa ini merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa. Komoditi ekspor utama kerajaan Gowa  adalah beras, yang dapat ditukar dengan rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat. Dari laporan Saudagar Portugal maupun catatan-catatan lontara setempat, diketahui bahwa Saudagar Melayu berperan penting dalam perdagangan dan pertukaran surplus pertanian dengan barang-barang impor itu.

Selanjutnya dengan adanya perjanjian Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal keruntuhan.  

Belanda melalui sarikat dagangnya VOC, berusaha menguasa seluruh kegiatan perdagangan di wilayah Kerajaan Gowa. Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan kompeni.


Di sekitar sinilah perjanjian itu ditandatangani. Sunyi. Tak banyak warga setempat yang berani masuk ke areal ini. (Khairil Anas. 22 Maret 2010)
Pertempuran terus berlangsung, kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan Perdamaian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar (yang dipimpin Arung Palakka) menambah kekuatan pasukan Kompeni, hingga akhirnya Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaitu Benteng Somba Opu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670.

Mengenai keberadaan makam Daeng Ri Bungaya yang ada di Bonto Barombong, hingga sekarang masih misteri. Data tertulis tentang tokoh misterius tersebut masih belum ditemukan. Siapa dan bagaimana tokoh tersebut tak banyak yang tahu, termasuk mengapa Sultan Hasanuddin memilih tempat tersebut dan (merasa perlu) meminta izin. Namun yang pasti, dari ragamnya cerita yang berkembang, lokasi penandatanganan Perjanjian Bungaya tidak diragukan lagi, yaitu di Desa Bonto Barombong –lokasi sejarah yang menyimpan banyak kisah, yang masih perlu terus digali untuk diketahui oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Betapa disayangkan bila situs sejarah itu dibiarkan terbengkalai tak terurus –berakhir menjadi hutan ruko, area bisnis atau sekadar lahan parkir, seperti nasib situs sejarah lainnya di Makassar. [V] Khairil Anas

Isi Perjanjian Bongaya

Pasal 1
Menyetudjui perdjanjian-perdjanjian tanggal 19 Agustus dan 21 Desember 1660

Pasal 2
Semua dienaren (pegawai-pegawai) bangsa Eropa (Belanda) dan rakjat Belanda jang ada di Somba Opu (jang mendjadi tawanan atau jang telah lari menjeberang pada keradjaan Gowa harus diserahkan kepada Kompeni Belanda.

Pasal 3
Semua barang-barang jang teah disita oleh pemerintah keradjaan Gowa jang berasal dari kapal-kapal Belanda jang pernah atau telah kandas dan dirusakkan, harus diserahkan kepada Kompeni Belanda.

Pasal 4
Orang-orang jang bersalah karena telah melakukan pembunuhan-pembunuhan atas diri orang-orang Belanda dan mereka telah merusakkan kapal-kapal Belanda, akan dihukum di hadapan residen Belanda di Djumpandang.

Pasal 5
Orang-orang jang berutang kepada orang kompeni harus membajar lunas segala utangnya dalam tempo satu tahun.

Pasal 6
Orang-orang Portugis dan orang-orang Inggeris harus meninggalkan Makassar sebelumnja achir tahun. Sultan tidak boleh meluaskan bangsa-bangsa Eopa lain berdagang di dalam daerah keradjaannja, pun tidak boleh menerima duta-duta dari mereka itu.

Pasal 7
Hanja kepada kompeni sadja diberikan hak untuk mendjual di Djumpandang barang-barang import jang penting. Pelanggar-pelanggar hukum akan dihukum dan barang-barang jang bersangkutan akan disita untuk keuntungan kompeni. Kain-kain jang dibuat di daerah-daerah pesiri Timur dari Djawa tidak termasuk dalam larangan ini.

Pasal 8
Kompeni bebas dari semua bea dan kewadjiban-kewadjiban pada pemasukan dan pengeluaran barang-barang.

Pasal 9
Orang-orang Makassar tidak boleh berlajar selain daripada ke Bali, Djawa, Batavia, Bantam, Djambi, Palembang, Djohor, dan Borneo, untuk mana mereka harus mempunjai surat pas.

Pasal 10
Benteng-benteng pertahanan Barombong, Pa’nakukang, Garasssi, mariso dan lain-lainnja harus dirombak. Djuga tidak boleh, dimana pun, didirikan benteng pertahanan baru. Hanja Benteng Somba Opu jang besar itu akan tinggal untuk kerajaan Gowa.

Pasal 11
Benteng Djumpandang bersama perkampungan dan tanah jang termasuk lingkungannja akan diserahkan kepada kompeni. Lodji kompeni akan didirikan kembali.

Pasal 12
Mata uang Belanda seperti yang digunakan di Batavia akan diberlakukan kembali di Djumpandang.

Pasal 13
Sultan dan para bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan perhitungan 2 ½ tael atau 40 mas Makassar per orang. Setengahnya sudah harus terkirim pada bulan Juni dan sisanya paling lambat pada musim berikut.

Pasal 14
Radja dan para bangsawan Makassar tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.

Pasal 15
Radja Gowa akan berusaha menjerahkan radja Bima, radja Dompu, radja Tambora dan radja Sanggar jang kesemuanja bersalah telah mengadakan pembunuhan atas orang-orang Belanda di Bima. Djuga Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada kompeni.

Pasal 16
Sultan harus melepaskan segala haknja atas keradjaan Buton.

Pasal 17
Sultan harus melepaskan segala haknja atas pulau-pulau Sula dan lain-lain pulau jang termasuk kekuasaan Ternate, seperti Selayar, Muna bersama seluruh Tanatunatea dan Badjeng dan daerah taklukannja, jang kesemuanja sementara dalam peperangan telah datang kepada kompeni, sebagai radja-radja jang bebas tanpa sesuatu hak mereka itu.

Pasal 18
Pemerintah keradjaan Gowa harus melepaskan kekuasaannja atas keradjaan Bone dan keradjaan Luwu dan berjandji akan memerdekakan Datu Soppeng (La Tenribali) dari pengasingannja.

Pasal 19
Pemerintah keradjaan Gowa selandjutnya menjatakan akan mengakui raja Laija dan radja Bangkala Bakke dan radja Appanang datang; maka negeri-negeri tersebut akan diberlakukan sesuai dengan hak kompeni atas daerah-daerah di sebelah Utara Makassar.

Pasal 20
Semua negeri jang dalam peperangan dikalahkan oleh kompeni bersama sekutu-sekutunja, terhitung mulai dari Bulo-bulo sampai Bungaja akan mendjadi dan tetap sebagai negeri-negeri milik jang telah dimenangkan oleh kompeni bersama sekutu-sekutunja menurut hukum perang; kemudian bilamana radja Sultan harus melepaskan segala haknja atas pulau-pulau Sula dan lain-lain pulau jang termasuk kekuasaan Ternate, seperti: Silajar, Muna dan seluruh daerah-daerah di pesisir Timur Sulawesi, jaitu mulai dari Sanna sampai Manado, pulau-pulau Banggai, Gapi, dan lain-lainnja jang terletak antara Mandar, dan Manado, seperti Lambagi, Kaidipan, Buwol, Toli-Toli, Dampelas, Balaisang, Silensak dan Kaili.

Pasal 21
Pemerintah keradjaan Gowa menjatakan akan melepaskan haknja atas Wadjo, Bulo-Bulo dan Mandar jang kesemuanja dianggap dudjana terhadap kompeni dan sekutu-sekutunja dan neger-negeri tersebut akan diperlakukan oleh kompeni dan sekutu-sekutunya menurut kehendak kompeni.

Pasal 22
Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, dan terus bersama istri mereka. Untuk selanjutnja jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea yang berharap tinggal dengan orang Makassar boleh melakukannya dengan seijin penguasa tau raja jang berwenang.

Pasal 23
Pemerintah keradjaan Gowa akan menutup negerinya untuk bangsa-bangsa lain (kecuali Belanda). Bilamana pemerintah keradjaan Gowa tidak mampu menolak mereka itu tinggal di Djumpandang, maka pemerintah keradjaan Gowa akan meminta bantuan kompeni jang ia akui sebagai perlindungannja, dengan kewadjiban selandjutnja, bahwa ia akan membantu kompeni terhadap musuh-musuh kompeni dan ia tak akan mengadakan permusjawaratan- permusjawaratan dengan negara-negara jang berperang dengan Belanda.

Pasal 24
Berdasarkan pasal-pasal yang disebutkan di atas ini, maka dibuatlah oleh sultan bersama pembesar-pembesar keradjaannja suatu perdjanjian perdamaian, persahabatan dan persekutuan (bondgenootschap), di dalam mana termasuk radja-radja dari Ternate, Tidore, Batjan, Buton, Bone, Soppeng, Luwu, Tunatea (Laija, Binamu, Badjeng) bersama dengan daerah-daerah taklukannja, begitu pun Bima dan tuang-tuna tanah dan radja-radja jang kemudian akan meminta masuk dalam persekutuan ini.

Pasal 25

Perjanjian Bungaya. Angka (pasal) 29 dan 30 terlihat jelas. (Foto repro. Dokumentasi)

Kompeni akan mengambil keputusan di dalam perselisihan-perselisihan di antara anggota-anggota sekutu. Bilamana ada satu pihak jang tidak mau mengindahkan perantaraan jang diberikan oleh kompeni, maka dimana perlu semua anggota sekutu memberi bantuan kepada pihak jang lain itu.

Pasal 26
Dua orang jang terkemuka dari madjelis pemerintahan di Gowa akan berangkat bersama Spelman ke batavia untuk meminta pengesahan dari Gubernur-Djenderal atas perdjanjian-perdjanjian tersebut. Gubernur-Djenderal, djika ia kehendaki, akan suruh tinggal di Batavia dua orang putera dari Sultan sebagai djaminan.

Pasal 27
Untuk mewudjudkan apa jang ditetapkan pada pasal 6, kompeni akan angkut orang-orang Inggris bersama barang-barangnja ke Batavia.

Pasal 28
Untuk mewudjudkan apa jang telah ditetapkan pada pasal 15, maka bilamana dalam tempo sepuluh hari radja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam 10 hari maka putera dari penguasa harus diserahkan kepada kompeni.

Pasal 29
Sultan berdjanji akan membajar kepada kompeni 250.000 rijksdaalders (ringgit?) sebagai pembajaran ongkos perang jang harus dilunakan dalam lima musim berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, emas, perak, ataupun permata.

Pasal 30
Radja Makassar dan para bangsawannja, Laksamana sebagai wakil kompeni, serta seluruh radja dan bangsawan jang termasuk dalam persekutuan ini harus bersumpah, menandatangani perdjanjian ini di atas sumpah atas nama Tuhan pada hari Djumat tanggal 18 Nopember 1667 di Bungaja. []

-------------------------------------------

(  18 +) ane mau share video panas terbaru klik DISINI tunggu 5 detik terus klik skip add alamat menonton.

---------------------------------------------------

sejarah Masjid raya Makassar

Sebelum masuk pembahasan ane mau shared profil pottele/psk di Makassar.
1. Linda ( nama samaran)
Lihat profil ( foto & no. Hp tersedia)
2. Mawar ( nama samaran)
Lihat profil (no.hp tersedia)
---------------------------------------------

Saat adzan menyahut pada Dzuhur kala itu, suasana Masjid Raya Makassar berubah menjadi sentrum bagi jiwa yang terpanggil. Siang itu, masjid yang dibangun pada 1949 masih menyisakan kerinduan. Sebuah kerinduan berbalut jiwa yang sublim akan keridohan sang Khalik.  Lalu lalang jamaah dari beberapa titik keramaian  bergegas menuju tiga penjuru gerbang masuk, seolah menjadi petanda bahwa masjid ini masih kuasa bertahan dari hirukpikuk aktivitas ekonomi di jantung keramaian Metro Makassar.

Masjid Raya Makassar. Model mediterania ala Masjid Kordofa. (Ariane Mays. 13 Agustus 2010)

Sepintas, mungkin tidak ada yang tahu, kalau tanah lapang yang kerap kali dijadikan lapangan sepak bola itu menjadi lokasi berdirinya Masjid Raya megah yang dilengkapi berbagai fasilitas dan dapat menampung 10 ribu jemaah di atas tanah seluas 13.912 meter persegi.

Soebardjo ketika itu membaca imajinasi masyarakat Makassar yang setiap harinya dihantui oleh pesawat pembom B-29 yang melayang-layang di atas kota


Berdiri megah di tengah kota. Dibangun tahun 1949. Dulunya tanah lapang, sering dijadikan lapangan bola. (Ariane Mays. 13 Agustus 2010)
Masjid Raya Makassar awalnya dirancang oleh M. Soebardjo atas petunjuk K.H. Ahmad Bone. Ulama asal Kabupaten Bone itu berniat membangun sebuah masjid dengan biaya sebesar Rp 60.000 di tahun 1947. Kala itu bangunan pertama masjid hanya terbuat dari anyaman bambu.  Barulah pada tanggal 25 Mei 1949 masjid tersebut diresmikan. Lalu pada tahun 1957, Presiden pertama RI, Soekarno, melaksanakan salat Jumat di masjid ini. Seterusnya upaya renovasi terus digalakan pihak pengelola. Seiring waktu, Masjid Raya Makassar dirombak total dari bentuk aslinya pada Februari 1999. Saat itu, sempat terjadi silang pendapat terkait perombakan masjid. Tapi kini, masjid tersebut berdiri megah dengan gaya arsitektur Timur Tengah dengan sentuhan meditarian. Sebuah mozaik kenangan masa lalu yang dipoles dengan ornamen modern.

Bagi saya, ini adalah kali ketiga datang ke masjid kebanggaan warga Makassar. Seingatku Ramadhan dua tahun lalu saya pernah bertandang, sekadar memanfaatkan jatah buka puasa di

Ramai oleh pedagang dadakan. Proses pemberdayaan ekonomi umat. (Ariane Mays. 13 Agustus 2010)
sini. Namun kedatangan saya kali ini tentu bukan mengharapkan adanya jatah makan gratis itu. Tujuanku hanya sekadar menengok aktivitas di dalam masjid bercorak hijau muda yang mulai memudar itu.


Suasana interior Masjid. Menanti Shalat Jumat. (Ariane Mays. 13 Agustus 2010)
Saat memarkir kendaraan, saya nyaris lupa dimana pintu masuk. Agar tidak terkesan asing, perlahan saya menyamakan langka mengikuti beberapa jamaah menuju sebuah tempat berwudhu di pojok paling belakang masjid. Setelah berwudhu dengan khusyuk, saya berniat sholat tahyatul masjid sebagai bentuk penghormatan bagi masjid, namun langkahku kubiarkan melambat. Sejenak kuputuskan berhenti di ujung anak tangga yang berbentuk setengah lingkaran. Mataku mempelototi sejumlah aktivitas jamaah di lantai dasar ini. Deretan pedagang memadati tiap sudut lantai. Saya menoleh ke deretan pedagang dan mulai mendekatinya.


Al'Quran Akbar. Berukuran 1 x 1,5 meter persegi. (Ariane Mays. 13 Agustus 2010)
Beberapa penjual  sempat saya amati. Seperti Yusuf, pedagang buku agama itu mengaku sudah dua tahun berdagang di tempat ini. Selain kumpulan kitab, lelaki berjangkut dan berpeci hitam itu  menjual  aksesoris peralatan sholat. Sementara di samping kiri Yusuf, bagi Anda pencinta parfum, bisa memperoleh pada penjual parfum non alkhol di Masjid Raya Makassar. Bahkan penjajah surat kabar dan majalah bekas bisa anda peroleh di lantai dasar ini. Khusus untuk penjual majalah bekas, anda  beruntung jika memiliki ketrampilan tawar menawar tingkat tinggi, pasti memperoleh harga yang jauh lebih murah. Namun sayang skill yang satu ini ternyata belum saya kuasai sehingga membawa pulang majalah bekas itu dengan harga yang diprediksi masih  relatif mahal.


Terbuat dari kertas pilihan dari Perum Peruri. "Bandingkan dengan Alquran ukuran normal". (Ariane Mays. 13 Agustus 2010)
Kali ini, mataku terhempas pada setiap sudut bagian dasar masjid. Luasnya sebanding dengan lantai dua yang biasa digunakan sholat berjamaah.  Dalam benakku, sepertinya pihak pengelola sengaja memberikan space khusus untuk aktivitas jamaah selain beribadah. Jika benar dugaanku, artinya penanggung jawab masjid turut serta memberdayakan ekonomi umat. Sikap ini tentu tidak hanya memposisikan masjid sebagai tempat sujud semata, namun masjid juga adalah wadah pengembangan sektor ekonomi umat. Masjid bukan pula sebagai tempat singgah bagi jiwa yang rumpil, tetapi masjid bisa berfungsi sebagai  pemersatu kekuatan umat, gumamku. Agak lama terhanyut dalam lamunan, sontak  suara lantang iqamat menyadariku bahwa saya hampir saja didaulat jadi masbuk. Bergegas saya mengambil posisi tepat di pojok kanan shaf.


'Kotak' penyimpanan Alquran Akbar. Terbuat dari kayu jati khusus. Dikeringkan selama 7 bulan, agar tahan ratusan tahun. (Ariane Mays. 13 Agustus 2010)
Usai mengakhiri kewajiban Dzuhur, saya lalu menengadah ke langat-langit, mengikuti titik serambi kubah masjid. Seluruh sudut terbingkai kaligrafi dari beragam model penulisan. Pesona interiornya terpancar pada kombinasi warna tembok yang cukup mempesona. Pahatan lafal Allah dan Muhammd jadi titik sentrum dari semua aksara Arab berbalut pada kemegahan bangunan ini. Tak hanya itu, saya mulai memperhatikan marmer coklat muda menjadi pilihan setiap ubin masjid ini. Dari kejauhan terpancar pantulan bayangan. Tentunya ini bukan marmer biasa, dengan harga yang tidak biasa pula.


Siluet di salah satu sudut Masjid. (Ariane Mays. 13 Agustus 2010)
Namun, terlepas dari  mahakarya desain modern pembangunan masjid ini, tak luput dari kontroversi. Di awal pembangunannya, di masa Wali Kota Makassar dijabat oleh I.M. Qaemuddin (alm), 1947-1951 kala itu pemerintah menganjurkan semua masjid di kota ini ditutup dan bersatu di Masjid Raya guna melaksanakan Shalat Jumat berjamaah. Kegiatan tersebut  sontak membuat tentara KNIL (Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger) antek tentara Belanda  yang pada masa itu masih berkuasa penuh di daearah teritori Makassar, merasa gusar dan menyesali pemberian izin membangun masjid. Sebab mereka menganggap Masjid Raya tidak hanya sebagai tempat ibadah saja tapi juga digunakan sebagai markas pertemuan dan kegiatan pejuang kemerdekaan atas pemberontakan DII/TI pimpinan Qahar Mudzakkar pada waktu itu.

Tidak hanya itu, kontroversi pun berlanjur dengan dibuatnya dua ruang terpisah yang terdapat pada rancang awal masjid ini. Sejarah mencatat ihwal masjid ini memiliki dua ruang terpisah bermula ketika Muhammad Soebardjo juru rancang itu memenangkan sayembara gambar bangunan Masjid

Agenda masjid yang mengharukan: Pengislaman hamba Allah. "Dengan mantap, mengucapkan dua kalimat syahadat". (Ariane Mays. 13 Agustus 2010)
Raya Makassar. Arsitek terkemuka itu menampilkan bentuk menyerupai model pesawat terbang. Lengkap dengan kedua sayap di kanan-kiri serambi. Kemudian badannya yang memanjang dari barat ke timur dengan dua badan atau jalur badan pesawat, lalu bagian timur seperti ekor pesawat.  Dirancangnya model desain seperti ini bukan tanpa sebab. Soebardjo ketika itu membaca imajinasi masyarakat Makassar yang setiap harinya dihantui oleh pesawat pembom B-29 yang melayang-layang di atas kota. Bermaksud meredam ketakutan warga, ide itupun ditorehkannya pada model awal masjid ini. Akan tetapi di saat ini, kita  tidak lagi menemukan model pesawat  dan dua ruang terpisah itu, justru kini telah tergantikan dengan desain

Pengislaman berjalan lancar dan khidmat. "Ucap syukur dan doa bersama". (Ariane Mays. 13 Agustus 2010)
ala mediterania menyerupai Masjid Kordofa.

Dahulu  pada bangunan aslinya, Masjid Raya memiliki Musafir Khana yaitu bangunan khusus tempat penampungan orang-orang terlantar atau musafir dan pelajar yang terputus bantuan dari orangtuanya sehingga memerlukan bantuan. Bahkan momentum paling penting adalah di masjid ini

Prasasti Panitia Pemugaran Masjid.
pertama kali lahir MTQ di tahun 1955 silam. Sayang kali ini kita tidak lagi menemukan musafir khana. Pihak pengelola  telah memugar dan menggantinya dengan areal parkir khusus kendaraan pejabat serta tamu-tamu bertaraf VVIP (very-very important person)

Selain itu ada keistimewaan pada masjid ini, pasalnya di lantai dua, terdapat Alquran  berukuran jumbo.  Dengan kondisi fisik  seperti tercantum pada sebuah papan informasi sebagai berikut: Panjang Alquran 1x1,5 meter per segi, berat 584 kg terdiri dari 6.666 ayat yang terangkum pada 30 juz, 605 helai kertas, oleh penulis kaligrafi, KH Ahmad Faqih Muntaha, dari Yayasan Al Asy'ariah, Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah.

Adapun tintanya sendiri dibuat dari campuran tinta Cina dan cairan lainnya seperti air teh kental. Air teh ini berfungsi agar tinta tetap awet melekat di kertas. Untuk tulisan ayat berwarna hitam,

Prasasti Panitia Pembangunan Masjid. Diresmikan 27 Radjab 1368 (25-5-1949). (Ariane Mays. 13 Agustus 2010)
digunakan spidol khusus. Sementara tempat bersemayamnya Alquran ini berada dalam bingkai kaca yang cukup tebal. Tentunya Pengurus Masjid Raya Makassar membuka kesempatan kepada siapapun yang ingin melihat langsung Al Quran raksasa itu.


Menara baru (sisi kanan) dan yang lama (sisi kiri), yang dibiarkan tetap berdiri. (Ariane Mays. 13 Agustus 2010)
Berdasarkan tulisan ini, sudah saatnya kita kembali mereposisi fungsi masjid, tidak hanya sekadar tempat  sublimasi vertikal spiritualis atau  tempat penghambaan kaum muslim.  Namum, sudah saatnya kita melihat masjid sebagai wadah membina kekuatan horizontal. Salah satunya pemberdayaan ekonomi umat serta  pusat kajian keilmuan Islam. Sehingga  tidak hanya kampus atau sekolah yang dapat menorehkan prestasi keilmuan, masjid pun sangat memungkinkan untuk itu. Selain juga sebagai pusat khazanah wisata religi dan budaya keislamaan.

Kalau bukan sebagai tempat pengembangan sumber daya jamaah, lantas  apalah arti sebuah kemegahan jika masih ada di sekitar masjid gerombolan pengemis, anak putus sekolah akibat himpitan ekonomi, hingga masih menjamurnya keluarga kurang mampu di Kota Makassar(?)  Masjid hanya dijadikan ikon baru bagi kemegahan sebuah daerah. Bahkan tidak menutup kemungkinan keberadaan masjid  justru dijadikan  sebagai politik mercusuar elit daerah, membangun sejarah sebagai prestise bagi pribadi yang tamak, bahkan mungkin mengubur sejarah masa lalu dengan  keangkuhan kekuasaan. Naudzubillah ! [V]

Dirombak secara total pada Februari 1999. (Ariane Mays. 13 Agustus 2010)


Lansekap Masjid Raya Makassar. Dirimbuni tanaman kelapa. (Ariane Mays. 13 Agustus 2010)


Data Al Quran Akbar:

Ukuran:
1x1,5 meter persegi.

Berat:
584 kg.

Jumlah lembar:
605 lembar.

Jumlah ayat:
 6.666 Ayat.

Jumlah Surah:
114.

Jumlah Juz:
30 Juz.

Kertas yang dipakai:
Kertas berkualitas buatan perusahaan kertas Perum Peruri.

Tinta yang dipakai:    
- Terbuat dari campuran Tinta Bak Cina dan cairan air teh kental;
- Tinta air teh fungsinya agar tinta tetap awet mlekat pada kertas;
- Tulisan ayat berwarna hitam digunkan spidol khusus;
- Tinta disapukan dengan menggunakan kuas khusus yang dibuat dari bambu;
- Tinta yang dibutuhkan yaitu belasan liter dan ratusan spidol.

Lama penulisan:
12 bulan (1 tahun).

Penulis utama:
K.H. Ahmad Faqih Muntaha (anak dari K.H. Muntaha Al-Hafidz).

Pemesan:
Drs. H.M. Aksa Mahmud (pembina Masjid Raya, Pendiri Bosowa Corporation).

Tempat penyimpanan:
Terbuat dari kayu jati khusus, yang dikeringkan selama 7 bulan, agar tahan ratusan tahun.

Pencetus penulisan:
Yayasan Al Asy'ariah Kalibeber, Wonosobo, Jateng.

Proses penulisan:
Dibutuhkan ketekunan yang amat besar dan penghayatan yang mendalam.
- Selama proses penulisan Al Qur'an harus berpuasa Dalail (Puasa rutin tanpa sela kecuali hari Tasyrik);
- Selama penulisan harus punya Wudhu'.Tujuannya: untuk menenangkan hati, sehingga mutu penulisan tetap konsisten dari halaman ke halaman serta tidak mudah digoda.

Diangkut dari:
Kalibeber, Wonosobo, Yogyakarta menuju Surabaya dengan menggunakan Angkutan darat.
Dari Surabaya ke Makassar dengan menggunakan angkutan laut.

Sudah ada enam Al Quran raksasa:
1. Dibuat pada 5 Juli 1994 diserahkan kepada presiden;
2. Disimpan di Istana Negara;
3. dipesan oleh gubernur DKI Jakarta H. Sutiyoso;
4. dipesan oleh Gubernur jawa Tengah H. Mardiyanto; (sekarang menteri Dalam Negeri);
5. dipesan oleh Sultan Hasanal Bolkiah (Brunei darussalam);
6. dipesan oleh Drs. H.M. Aksa Mahmud (Disimpan di Masjid Raya Makassar). []

--

Makassar, asal mula para pelaut ulung

Sebelum masuk pembahasan ane mau shared profil pottele/psk di Makassar.
1. Linda ( nama samaran)
Lihat profil ( foto & no. Hp tersedia)
2. Mawar ( nama samaran)
Lihat profil (no.hp tersedia)
---------------------------------------------

Dahulu kala Kepulauan Aru dan sebagian Wilayah Maluku Termasuk Wilayah Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo)

Negeri para pelaut ulung.


Jauh sebelum kedatangan orang Eropa di Maluku, Orang Makassar yang dikenal sebagai pelaut ulung telah berlayar sampai ke wilayah ini. Bahkan wilayah kepulauan Aru, Maluku Utara pernah masuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo).

Beberapa buah Kapal Belanda yang masih singgah di Makassar masih diterimanya dengan baik. Tetapi setelah kedua pembesar itu tiba di Makassar dalam tahun 1616, barulah Raja melampiaskan pembalasan dendamnya

Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) dikenal sebagai kerajaan yang mempunyai kekuatan armada laut yang besar dan disegani. Banyak bukti yang menunjukkan kepiawaian orang Makassar mengarungi dan menaklukkan laut hanya dengan perahu layar. Salah satu bukti tertulis adalah catatan Tome Pires yang dianggap sebagai sumber Barat tertulis yang paling tua.

Dalam laporannya Pires mengemukakan: “Orang-orang Makassar telah berdagang sampai ke Malaka, Jawa, Borneo, negeri Siam dan juga semua tempat yang terdapat antara Pahang dan Siam”.

Maka tak heran jika wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa pada pertengahan abad XVII dapat meliputi sebagian besar kepulauan Nusantara bagian Timur, seluruh Sulawesi, Sula, Dobo,Buru-Kepulauan Aru Maluku di sebelah timur, termasuk Sangir, Talaud, Pegu, Mindanao di bagian utara. Bahkan sampai Marege-Australia Utara, Timor, Sumba, Flores, Sumbawa, Lombok-Nusa Tenggara di sebelah selatan, serta Kutai dan Berau di Kalimantan Timur sebelah Barat.

Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) beberapa kali mengirimkan armada lautnya untuk menaklukkan sejumlah wilayah di Nusantara. Sejarah mencatat, untuk memperkuat pengaruhnya di Nusantara, Sultan Alauddin mengirim pasukan ke beberapa daerah yang dianggap strategis bagi pengawasan pelayaran niaga ke Maluku, salah satunya adalah ke Pulau Sumbawa dibawah pimpinan Karaeng Maroanging.

Karaeng Maroanging mungkin tidak sepopuler Karaeng Bontomarannu sang Panglima Angkatan Perang Kerajaan Gowa yang meninggalkan Makassar menuju Pulau Jawa. Namun tidak demikian jika kita berbicara akan pencapaiannya selama menjabat sebagai Panglima Angkatan Perang. Berkat keberaniannya, akhirnya pulau Sumbawa dapat diduduki pada tahun 1618.

Satu tahun kemudian tepatnya 1619 Sultan Alauddin meresmikan penaklukan tersebut, wilayah kekuasaan Kerajaan Makassar meluas sampai ke Bima, Tambora, Dompu dan Sanggar di pulau Sumbawa. Bima adalah daerah pertama yang menjadi daerah taklukan Kerajaan Gowa (1616)  yang pada masa itu dipimpin oleh Lo'mo Mandalle sebagai Panglima Angkatan Perang Kerajaan Gowa yang tiada lain adalah pendahulu dari Karaeng Maroanging. Karaeng Maroanging wafat pada tanggal 17 maret 1622.


Kota Makassar dan Perahu Phinisi.
Dalam tahun 1632 orang Bima mengadakan perlawanan/pemberontakan. Maka pada tanggal 25 November 1632 setelah kedatangannya dari Tanah Toraja, Sultan Alauddin mengirim sebuah armada militer ke Bima dibawah pimpinan Karaeng ri Bura’ne untuk memadamkan huru-hara tersebut. Setelah berhasil menyelesaikan tugasnya, armada perang itu kembali ke Makassar pada tanggal 7 April 1633.

Tanggal 29 Januari 1642, Kerajaan Makassar kembali mengerahkan armada perang Kerajaan Gowa ke Ambon (Hitu) untuk membantu rakyat setempat melawan VOC. Tahun 1634 – 1643, Rakyat Hitu (Ambon) di Maluku Tengah di bawah pimpinan Kakiali mengadakan perlawanan terhadap VOC. Peristiwa yang dikenal dengan Perang Hitu Pertama ini terjadi akibat politik monopoli perdagangan dan “Hongi Tochten” VOC yang sangat menyengsarakan rakyat di kerajaan Hitu (Tanah Hitu). I Baliung dan I Daeng Batu, keduanya adalah panglima perang kerajaan yang memimpin armada perang Kerajaan Gowa ke Ambon.

Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu sikap Sultan Mandarsyah yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para bangsawan berkomplot untuk menurunkan Mandarsyah. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran: Saidi, Majira dan Kalumata.

Majira sebagai salah satu pemimpin tertinggi pemberontakan menghadap Raja Gowa untuk minta bala bantuan pasukan melawan Sultan Ternate dan sekutunya (Belanda). Raja Gowa memberi bantuan sebanyak 30 perahu lengkap persenjataan, dan mengutus Daeng ri Bulekang untuk memimpin pasukan demi membantu rakyat Ambon dari penindasan Belanda tersebut.


Perahu Phinisi di Pelabuhan Paotere.
Berawal dari keberhasilannya mendamaikan dan menaklukkan sejumlah wilayah di Nusantara, Kerajaan Gowa semakin luas dan menguasai perdagangan rempah-rempah utamanya di wilayah-wilayah penghasil rempah-rempah di Maluku.

Permulaan abad XVII, mulailah bermunculan kapal-kapal Bangsa Eropa di perairan Nusantara dalam, terutama di bahagian Timur Indonesia, orang-orang Eropa yang secara langsung berlayar ke tempat-tempat penghasil rempah-rempah mengakibatkan terjadinya persaingan di antara para pelaut dan pedagang rempah-rempah, termasuk dengan saudagar Makassar dari Kerajaan Gowa-Tallo.

Kompeni Belanda menganggap orang-orang Makassar sebagai saingan yang berat. Terlebih setelah orang-orang Belanda mengadakan perhitungan dengan orang-orang Spanyol, Portugis, dan Inggris di Maluku, ternyata pelabuhan Makassar selalu terbuka bagi bangsa-bangsa ini untuk datang berdagang dan membeli rempah-rempah di Makassar yang harganya lebih murah dari pada di daerah Maluku sendiri.

Tahun 1607 Cornelis Matelief tiba di Ambon dan mengirim utusan ke Makassar untuk menyampaikan surat kepada Raja Gowa, yang isinya meminta supaya Gowa menghentikan pengiriman beras ke Malaka dan meminta agar Raja Gowa membuka pelabuhannya untuk kapal-kapal Belanda. Namun permintaan Belanda yang tidak di pedulikan Gowa merenggangkan hubungan baik di antara Kompeni Belanda dan Kerajaan Makassar.

Hubungan yang tidak harmonis makin menjadi, terutama ketika Belanda berhasil memperoleh monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Pedagang-pedagang Eropa lainnya dengan sendirinya memindahkan pusat kegiatannya ke Makassar. Di samping untuk menjual barang dagangan yang dibawanya, juga yang terpenting untuk membeli barang-barang dagangan yang diperlukan, terutama rempah-rempah, kayu cendana dan kayu sappang.


Merapat setelah melaut.
Kondisi yang tidak sehat ini, menyebabkan Kompeni Belanda mengambil sikap menjauh dan mulai menjaga jarak. Pada tahun 1615 Jan Pieterszoon Coen sebagai Direktur Jenderal atas perdagangan Kompeni di Indonesia mempertimbangkan untuk menghapuskan kantor di Makassar, yang berarti pula putusnya hubungan baik di antara keduanya. Tetapi sebelum rencana itu diputuskan dalam suatu ketetapan, wakil dagang Belanda di Makassar Abraham Sterck atas kuasanya telah meninggalkan kantornya dan memindahkan seluruh inventarisnya ke kapal "Engkhuysen" yang sedang berlabuh di pelabuhan dan berniat meninggalkan Makassar.

Akan tetapi dia memiliki sejumlah piutang kepada Raja Gowa. Sebuah akal licik kemudian muncul dalam benaknya. Atas anjurannya, maka kapitan Kapal Belanda itu mengundang sejumlah pembesar-pembesar Kerajaan Makassar untuk datang melihat-lihat kapalnya. Setelah pembesar-pembesar itu berada di atas kapal, maka mereka diserang dan senjata mereka dilucuti. Abraham Sterck berniat menjadikan para pembesar Kerajaan Makassar ini sebagai sandera (gijselaar) dalam menagih utang raja.
 
Selain jenis perahu Phinisi yang dikenal sekarang ini, Kerajaan Gowa pernah memiliki ribuan perahu jenis "Galle" yang mempunyai desain cantik menawan yang dikagumi pelaut-pelaut Eropa

Perkelahian pun terjadi di kapal itu. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 25 April 1615, menyebabkan kerugian di kedua belah pihak. Kebanyakan pembesar Makassar yang datang itu tewas, menyisakan dua orang saja, yakni Syahbandar Ince Husain  dan Karaengta ri Kotengang (salah seorang kerabat raja), keduanya lalu dibawa ke Banten. Peristiwa ini sekaligus memicu ketegangan-ketegangan antara kedua belah pihak, meskipun belum secara besar-besaran.

Sultan Alauddin sangat gusar, tetapi masih dapat menahan diri menunggu sampai kedua pembesar itu dikembalikan dengan selamat oleh Belanda. Beberapa buah Kapal Belanda yang masih singgah di Makassar masih diterimanya dengan baik. Tetapi setelah kedua pembesar itu tiba di Makassar dalam tahun 1616, barulah Raja melampiaskan pembalasan dendamnya.

Pada akhir tahun 1616 sebuah Kapal Belanda "De Eendragt" yang setelah meninggalkan tanah airnya terdampar di Pantai Barat Australia, rupanya tidak mengetahui terjadinya peristiwa Makassar dan penutupan Kantor Belanda di Makassar. Dari Australia kapal itu tiba di Laut Jawa melalui Selat Bali dan seterusnya berlabuh di Pelabuhan Makassar. Begitu mereka turun ke daratan, kapal, muatan dan anak buahnya itu pun menjadi mangsa Orang Makassar. Dan sejak itulah terjadi perang antara Kompeni dengan Makassar yang berlangsung bertahun-tahun lamanya. Berpuncak pada kejatuhan Kerajaan Makassar pada tahun 1667 yang ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Bungaya.


Suatu hari di Paotere.
Beberapa orang pembesar Kerajaan Makassar yang menolak menyetujui Perjanjian Bungaya dan tidak senang dengan kehadiran Belanda tetap menjadi ancaman bagi Belanda (VOC) baik di darat maupun di lautan. Beberapa tokoh sentral Gowa yang menolak menyerah salah satunya adalah Karaeng Galesong yang hijrah ke Tanah Jawa. Bersama armada lautnya yang perkasa, mereka memerangi setiap Kapal Belanda yang mereka temui.
  Belanda yang saat itu dibawah pimpinan Spellman menjulukinya sebagai "Si Bajak-Laut". Pelaut-pelaut Makassar menjadi Bajak Laut bagi Belanda (VOC) beserta koloni-koloninya yang merupakan musuh-musuh mereka, sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap ketidakadilan.

Pelaut-pelaut Makassar berjuang untuk kemerdekaan dan kesejahteraan mereka. Bagi mereka laut adalah sumber kehidupan dan kesejahteraan.

“Takunjunga' Bangunturu', Nakugunciri Gulingku, Kualleanna Tallanga Na Toalia”

(Tidak begitu saja aku ikut angin buritan, dan kuputar kemudiku, Lebih kupilih tenggelam dari pada balik haluan).

Le'ba Kusoronna Biseangku, Kucampa'na Sombalakku, Tamammelokka Punna Teai Labuang (Ketika perahuku kudorong, Ketika layarku kupasang, Aku takkan menggulungnya kalau bukan labuhan).

Itulah falsafah hidup Orang Makassar. Sebuah falsafah yang menunjukkan betapa kehidupan orang-orang Makassar sejak zaman dahulu sampai sekarang, begitu dekat dengan laut. Maka tidak mengherankan jika orang-orang Makassar dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung.

Tome Pires menulis: “Gelombang tinggi dan laut yang sangat luas bukanlah hambatan bagi Pelaut Makassar. Keberanian, kekasaran dan kematianlah yang akan mereka pilih jika diperhadapkan pada pilihan yang rumit. Apalagi kalau itu menyangkut dengan harga diri dan kepercayaan yang dianutnya”.

Seorang pelaut portugis, Antonio de Paiva mencatat pertemuannya dengan Baginda Sultan Malikkussaid (Raja Gowa ke-15) yang dikawal tidak kurang dari 1.182 (seribu seratus delapan puluh dua) kapal perang Kerajaan Gowa-Tallo yang menyertai Baginda Sultan Malikussaid saat melakukan pelayaran ke Daerah Maje'ne.

Selain itu dalam Lontara Bilang Gowa, tercatat pada 30 April 1655, Sultan Hasanuddin berlayar ke Mandar terus ke Kaili dikawal 183 perahu. Perjalanan Sultan Hasanuddin ke Maros, 29 Desember 1659 dikawal 239 perahu. Ketika ke Sawitto, 8 Nopember 1661 Sultan Hasanuddin dikawal 185 perahu. Dan pada bulan Oktober 1666, Sebanyak 450 perahu digunakan mengangkut sekitar 15.000 lasykar Kerajaan Gowa ke Pulau Buton.

Kebesaran armada laut Kerajaan Gowa dahulu didukung oleh armada perahu yang besar dan tangguh. Selain jenis perahu Phinisi yang dikenal sekarang ini, Kerajaan Gowa pernah memiliki ribuan perahu jenis "Galle" yang mempunyai desain cantik menawan yang dikagumi pelaut-pelaut Eropa, seperti I Galle I Nyannyik Sangguk yang pernah ditumpangi oleh Baginda Sultan Muhammad Said (Sultan Malikussaid) dalam pelayarannya ke Walinrang dan Negeri Bolong di Tanah Toraja.

Perahu Galle Kerajaan Gowa memiliki konstruksi bertingkat dengan panjang mencapai 40 meter dan lebar 6 meter. Tiang layar besar dilengkapi pendayung 200 hingga 400 orang. Setiap perahu Galle diberi nama tersendiri.

  1. I Galle Dondona Ralle Cappaga panjang 25 depa atau 35 meter.
  2. I Galle Nyannyik Sangguk dan I Galle Mangking Naiya, panjang 15 depa atau 27 meter.
  3. I Galle kalabiu,
  4. I Galle Galelangan,
  5. I Galle Barang Mamase,
  6. I Galle Siga, dan
  7. I Galle Uwanngang

Lima perahu yang terakhir memiliki panjang masing-masing 13 depa atau sekitar 23 meter.


Relief Perahu Phinisi.


Di samping itu terdapat pula jenis-jenis perahu yang dibuat untuk kepentingan tertentu, seperti jenis Perahu Binta untuk penyergapan, Perahu Palari sebagai alat pengontrol wilayah kekuasaan di perairan dan pesisir pantai, Perahu Padewakang untuk kepentingan dagang, Perahu Banawa untuk mengangkut binatang ternak, Perahu Palimbang khusus angkutan penumpang antarpulau, Perahu Pajala bagi nelayan penangkap ikan, Perahu Birowang dan Perahu Bilolang untuk mengangkut penumpang jarak dekat.

Selain sebagai armada perang, perahu-perahu tersebut juga digunakan untuk menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, juga dengan kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka, Madagaskar, bahkan Gujarat di India.[V]

-------------------------------------------

(  18 +) ane mau share video panas terbaru klik DISINI tunggu 5 detik terus klik skip add alamat menonton.

---------------------------------------------------


sejarah masjid katangka

Sebelum masuk pembahasan ane mau shared profil pottele/psk di Makassar.
1. Linda ( nama samaran)
Lihat profil ( foto & no. Hp tersedia)
2. Mawar ( nama samaran)
Lihat profil (no.hp tersedia)
---------------------------------------------

Masjid Al Hilal-Katangka

Masjid yang Berfungsi Sebagai Benteng di Dalam Benteng

Senin pertengahan November 2011, menjelang matahari tergelincir ke arah Barat, VERSI mampir ke Masjid Tua Al Hilal Katangka, masjid tertua dan pertama di Provinsi Sulawesi-Selatan. Dari angka tahun yang tertempel di dinding bagian luar masjid tertera angka 1603, berarti masjid tersebut telah berusia 408 tahun, bila kita berhitung dari tahun 2011.

Masjid Al Hilal Katangka, atau lebih populer Masjid Katangka. Masjid tertua di Sulsel.


Sehingga Masjid Katangka merupakan benteng di dalam benteng, benteng pertahanan bagi raja dan keluarga besar Kerajaan Gowa

Beberapa saat sebelum sholat Dhuhur dimulai, VERSI menyempatkan diri berkeliling mengamati suasana yang sepi di sekitar kawasan masjid yang didominasi cat putih itu. Sebuah  pelataran di bahagian belakang atau sisi timur masjid yang berlantai keramik dan dinaungi atap seng, disiapkan untuk tempat sholat bagi jemaah wanita pada saat ramai kegiatan peribadahan, seperti sholat tarwih atau sholat hari raya. Sementara di sekeliling masjid, terdapat sejumlah makam Raja Gowa dan keluarganya.


Sumur karamah Masjid Katangka. Dipakai wudhu, dipercaya sebagai obat awet muda.
Tidak lama kemudian juru kunci masjid datang dan membuka pintu masuk masjid, VERSI uluk salam dan menyusul masuk dalam ruangan masjid. Terdapat sebuah ruangan yang harus dilalui sebelum memasuki ruang utama masjid. Di sudut ruangan sebelah kanan tersedia tempat berwhudu, dan disudut lainnya merupakan ruangan kosong yang tak begitu luas. Dari peralatan yang ada berupa bangku-bangku kecil, ruangan tersebut nampaknya dipergunakan oleh anak-anak usia SD untuk belajar mengaji dan bertadarrus.

Masjid Al Hilal Katangka dulunya merupakan masjid kerajaan. Letak masjid berada di sebelah utara kompleks makam Sultan Hasanuddin. Lokasi makam  yang diyakini sebagai tempat berdirinya Istana Tamalate, istana raja Gowa ketika itu. Sebuah jalan yang dikenal sebagai batu palantikang, merupakan jalan yang sering dilintasi raja dan keluarga menuju masjid. Sebelum sampai masjid kita akan menjumpai sebuah sumur yang usianya jauh lebih tua dari masjid Katangka, namanya Bungung Lompo, sebuah sumur yang tidak pernah kering meskipun musim kemarau melanda. Bungung ini dipakai oleh para prajurit Kerajaan Gowa mensucikan diri sebelum berangkat ke medan perang, dan setelah masjid tua Katangka berdiri, sumur ini kemudian menjadi tempat berwudhu para jamaah sebelum menunaikan sholat.


Suasana dalam masjid. Mengenang masa lalu.
Selain ‘Bungung Lompoa’, di dinding utara luar masjid juga terdapat satu sumur lagi, sumur itu sama tuanya dengan masjid. Air dari sumur ini juga diyakini bertuah, bisa membuat awet muda bagi orang-orang yang berwudhu atau sekadar membasuh muka. Menunaikan sholat Dhuhur bersama sejumlah jamaah di masjid tua Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa itu, mengantarkan jiwa sejenak melayang ke masa silam. Betapa mesjid tua ini telah menjadi saksi sejarah untuk sekian banyak generasi, mulai generasi awal raja Gowa yang shalat di sana, yakni Sultan Alauddin beserta rakyat kerajaan dan tiga datuk dari Minangkabau yang dipercaya sebagai penyebar  Islam pertama di tanah Sulawesi, yaitu Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk Patimang. Lalu berlanjut pada generasi kedua, yakni Sultan Malikus Said, berturut-turut Sultan Hasanuddin, termasuk Syekh Yusuf Al Makassari, sampai kita, generasi era digital saat ini.

Bertindak selaku imam sholat Dhuhur adalah imam masjid Katangka yang merupakan generasi ketiga dari imam masjid pertama. Nama lengkapnya adalah HG Faisal Daeng Ngeppe, Lc, 38 tahun. Dg.Ngeppe diangkat sebagai Imam Masjid Tua Katangka sejak 2002 lalu. Selain imam masjid, Daeng Ngeppe juga menjadi Imam Kelurahan Katangka.


Juru kunci Masjid Katangka, Harun Dg. Ngella.
Masjid Al Hilal-Katangka, merupakan satu di antara tiga masjid tertua di Sulawesi Selatan. Dua yang lainnya adalah  Masjid Jami' di Kota Palopo, dan Masjid Taqwa Jerrae di Kabupaten Sidrap. Ketiga mesjid ini sama-sama berusia lebih dari 4 abad, dan memiliki kemiripan dari segi model. Salah satu ciri yang paling mirip dari ketiga masjid ini adalah model atapnya yang  menyerupai piramida, bentuk ini sudah pasti merupakan pengaruh kebudayaan Mesir.

Bangunan mirip piramid itu juga terlihat pada makam-makam Raja Gowa yang berada di sekitar masjid. Pada pucuk atap dari ketiga masjid tua ini, selalu dipasang benda-benda tertentu. Seperti halnya Masjid Jami Palopo dan Masjid Jerrae Sidrap, dan setiap makam raja-raja Gowa  yang pucuk atapnya dipasangi guci, begitupula yang pernah terpasang di pucuk atap masjid tua Al Hilal-Katangka. Tetapi guci yang umurnya sudah ratusan tahun itu juga akhirnya menyerah oleh kerasnya gempuran waktu.

Dari arsitektur masjid yang demikian itu, masyarakatpun meyakini bahwa arsitektur Masjid Tua Katangka sangat kental dengan pengaruh  kebudayaan asing. Hal itu dibenarkan oleh juru kunci masjid yang saat berbincang-bincang dengan VERSI memperkenalkan diri bernama Harun Dg. Ngella. “Memang beberapa perangkat yang terdapat dalam masjid ini merupakan buatan luar negeri,” ucap Dg. Ngalle.

Genteng masjid yang terbuat dari keramik berwarna merah itu dipastikan berasal dari Belanda, sebab di situ tertulis Stoom Pannen Fabriek Van Echt, dengan tahun pembuatan 1884. Genteng yang secara khusus didatangkan dari Belanda itu merupakan pesanan Raja Gowa I Kumala Daeng Parani Karaeng Lembang Parang, Sultan Abdul Kadir Muhammad Aididdin Tumenanga ri Kakuasanna.


Saat gerbang masjid mulai dikerja, 16 Juni 2010.
“Masjid ini pernah memiliki koleksi kitab dan catatan yang berisi ilmu pengetahuan mengenai agama yang berusia tua dan berasal dari Arab, tapi banyak yang hilang dan telah musnah,” lanjut Dg. Ngalle.

Menurut Dg. Ngelle, sejumlah perangkat asli di masjid ini hilang dan musnah diakibatkan oleh dua kemungkinan, pertama boleh jadi karena dimakan usia, atau hilang akibat kemungkinan kedua, yakni perang. Saat perang berkecamuk antara Kerajaan Gowa dan Belanda, Masjid tua Katangka, berkali-kali dijadikan sebagai benteng pertahanan, ketebalan temboknya yang mencapai 120 centimeter dengan susunan batubata dalam posisi miring membuktikan kisah itu, bahwa Masjid Tua Katangka tidak sekadar tempat untuk sholat atau beribadah, tetapi inilah satu-satunya masjid di dunia yang sekaligus berfungsi sebagai benteng pertahanan di masa peperangan.


Gerbang masjid selesai, 27 Agustus 2010.
Masjid tua Katangka didirikan di dalam areal Benteng Kalegowa yang berarti masih dalam kawasan Istana Tamalatea. Benteng Kalegowa merupakan benteng terkuat yang dimiliki Kerajaan Gowa pada masa itu. Rumah-rumah raja dan bangsawan dibangun dalam benteng ini. Dinding Masjid Tua Katangka dibangun dengan bahan yang sama dengan dinding Benteng Kalegowa.

Menurut catatan sejarah, dinding Benteng Kalegowa dibuat dari susunan bata dengan posisi miring, tidak direbahkan sebagaimana posisi pemasangan batu-bata di zaman sekarang. Konon, untuk merekatkan bata tersebut hanya menggunakan telur dan kapur. Begitupula dengan konstruksi bangunan masjid dibuat sama dengan kontruksi bangunan benteng. Sehingga Masjid Katangka merupakan benteng di dalam benteng, benteng pertahanan bagi raja dan keluarga besar Kerajaan Gowa. Dg. Ngeppe menjelaskan, ketebalan dinding masjid mampu menahan serangan meriam atau bedil milik tentara Belanda. Serangan Belanda berhasil membumiratakan Benteng Kalegowa. Tidak sebata pun yang disisakan kecuali yang berada dalam dinding Masjid Katangka.


Tembok setebal 120 cm. Dibangun sekuat benteng pertahanan.
Fungsi masjid sebagai benteng juga diperkuat dengan ditemukannya meriam beserta pelurunya saat dilakukan penggalian di bagian halaman masjid. Meriam tersebut kemudian dipindahkan ke komplek Makam Sultan Hasanuddin di Pallantikang.

“Plafon masjid yang terbuat dari seng plat tebal dan berombak itu juga didatangkan dari Belanda,” kata Dg.Ngalle sambil menunjuk ke arah plafon masjid.

Pada plafon itu terdapat lampu lampion yang digantung dengan menggunakan gantungan besi. Tetapi lampion itu tidak pernah lagi dinyalakan, Masjid Tua Al Hilal Katangka ikut menyesuaikan diri dengan zaman; bedug diganti dengan pengeras suara, lampion diganti lampu listrik. Bahkan enam unit pendingin udara (air conditioner) telah terpasang di sudut-sudut ruangan masjid, untuk menggantikan fungsi jendela sebagai sirkulasi udara.
 
Sebuah sumber menyatakan bahwa Dal adalah angka untuk tahun 1527. Apabila itu benar, maka usia mesjid Katangka yang sebenarnya adalah 76 tahun lebih tua dari yang sebenarnya

Konstruksi masjid Tua Katangka, bukan hanya dipengaruhi budaya Belanda dan Mesir, tetapi ada pula bagian masjid lainnya yang bernuansa China, itu dibuktikan dengan guci keramik buatan China yang pernah terpasang di pucuk masjid serta loster pada mimbar dan tempat berwudu.

“Masjid ini sudah berkali-kali dipugar dan direnovasi,” ungkap Dg. Ngalle, “tapi ada beberapa bagian masjid yang masih asli seperti mihrab masih tetap seperti ratusan tahun lalu, dengan lima anak tangga dan yang paling atas ditempati duduk oleh Khatib Jumat,” tambahnya menjelaskan.


Tombak (Lembing) di antara mihrab. Mengawal dan menjaga khatib saat membacakan khotbah di atas mimbar.
Terlihat  dua lembing di sisi kiri kanan mihrab. Sebuah cerita unik mengenai keberadaan dua lembing di kiri dan kanan mihrab. Kedua lembing ini diikatkan bendera yang bertuliskan kalimat syahadat. Konon di masa lalu, setiap pelaksanaan sholat jumat di masjid ini, khatib yang bertugas membacakan naskah khotbah dikawal dan dijaga oleh dua prajurit Kerajaan Gowa. Dua prajurit bertombak itu bertugas mengawal dan menjaga khatib di atas mimbar, serta menghalau jemaah sholat jumat yang biasanya berlomba-lomba menggigit ujung naskah khotbah yang tengah dibacakan sang khatib.

“Waktu itu orang-orang percaya bahwa barang siapa yang mampu menggigit ujung naskah khotbah yang terbuat dari gulungan daun lontara, maka orang itu akan menjadi sakti dan kebal terhadap ujung senjata tajam jenis apapun,” kata Dg.Ngalle memulai kisahnya.
  Akibat munculnya kepercayaan tersebut, maka sholat jumat selalu berakhir kacau oleh jemaah yang berebutan menggigit ujung naskah khotbah yang dibacakan sang khatib. Raja Gowa, I Mangngarangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna atau yang lebih dikenal sebagai Sultan Alauddin, kemudian mengutus dua prajurit bertombak untuk menjaga dan mengawal khatib serta menghalau jamaah yang berebutan ingin menggigit ujung naskah khotbah itu. Lama kelamaan seiring pemahaman masyarakat Gowa terhadap Islam semakin baik, dan kepercayaan tersebut sedikit demi sedikit berangsur hilang, maka khatib tidak lagi dikawal oleh prajurit, namun replika lembing atau tombak milik prajurit kerajaan tetap di pasang di sisi kiri dan kanan mihrab.

“Adapun bendera yang bertuliskan lafadz ‘Lailaha Illalloh’ itu merupakan simbol bahwa agama Islam secara resmi telah dijadikan sebagai agama Kerajaan Gowa-Tallo ketika itu. Tapi lembing yang berada di sisi mimbar, sudah bukan asli lagi. Bagian mimbar yang terbuat dari kayu juga sudah diganti karena sudah lapuk dimakan usia,” ungkap Dg. Ngalle.


Ditopang dengan 4 pilar gendut yang kokoh.
Masjid ini juga sudah berkali-kali direnovasi dan dipugar. Pada abad ke-19, lantai masjid bagian luar masih terbuat dari cetakan tanah merah dengan model yang sederhana. Lantai bagian dalam masjid dibuat dari semen licin. Namun kini, lantai masjid sudah diganti dengan tegel keramik. Atap masjid juga sudah mengalami beberapa kali renovasi karena gentengnya banyak yang retak.

Dari sejumlah prasasti yang ada di dalam masjid, dapat disimpulkan bahwa selama 408 tahun ini sudah terjadi sedikitnya tujuh kali perombakan atau renovasi. Prasasti yang dimaksudkan adalah berupa kaligrafi arab namun isinya berbahasa Makassar yang masing-masing terdapat pada bagian atas pintu, mimbar dan mihrab. Dg. Ngalle menjelaskan, kaligrafi itu memang berbahasa Makassar. Setiap kaligrafi menceritakan secara singkat tentang pembangunan atau renovasi masjid beserta tanggalnya.

“Jadi kaligrafi itu semacam prasasti yang menandakan bahwa telah dilakukan pekerjaan ini, oleh si ini, pada tanggal ini, Perombakan pertama dilakukan pada tahun 1816 atas perintah Sultan Abdul Rauf. Perombakan ini meliputi penguatan dinding, ” jelas Dg. Ngalle.

Masih menurut Dg. Ngalle, renovasi tahap kedua dilakukan di masa Sultan Abdul Kadir Muhammad Aididdin, Raja Gowa XXXII, sekitar tahun 1886. Renovasi meliputi pengubahan posisi pintu dari arah Selatan ke arah Timur. Jendela juga diubah modelnya dari bentuk kubah memanjang menjadi segi empat seperti yang terlihat sekarang. Genteng yang didatangkan dari Belanda juga dipasang. Prasasti yang menceritakan mengenai renovasi kedua ini terdapat pada pintu utara, prasasti itu berisi tentang tanggal pelaksanaan renovasi pada hari Senin 8 Rajab tahun Dal, bertepatan dengan tanggal 12 April 1886. Sultan juga memerintahkan Karaeng Katangka untuk mengurus masjid bersama Tumailalang Lolo, Gallarang Mangasa, Gallarang Tombolo dan Gallarang Saumata.


Suasana belajar mengaji dan bertadarrus.
Nama-nama yang disebut dalam prasasti tersebut adalah pejabat penting kerajaan. Tumailalang Lolo merupakan orang yang menjembatani Sultan dengan para dewan kerajaan yang dikenal dengan Bate Salapang. Sementara Gallarang adalah kepala wilayah yang berwenang menunjuk wakilnya menduduki Bate Salapang.

Sebuah prasasti lainnya menjelaskan pelaksanaan renovasi pada masa Raja Gowa XXXIII, Sultan Idris. Perubahan dilakukan dalam skala besar. Ini adalah renovasi ketiga. Dan renovasi keempat terjadi pada tahun 1963 berupa pemugaran oleh pemerintah. Pada tahun 1978-1980, konstruksi kubah yang berada di bagian depan dibongkar karena sering bocor. Kubah tersebut akhirnya dihilangkan.

Selain kaligrafi prasasti yang menjelaskan mengenai kegiatan renovasi, sebuah prasasti kaligrafi di pintu tengah juga menerangkan mengenai Sultan pertama yang melaksanakan salat Jumat bersama rakyatnya di mesjid tersebut. Diceritakan, setelah shalat Jumat, Sultan membagi-bagikan sedekah kepada rakyat yang ikut shalat serta para pekerja yang terlibat dalam pembangunan masjid. Sayangnya, prasasti yang satu ini tidak jelas waktunya, hanya melafalkan bahwa masjid dibangun pada bulan Rajab di tahun Dal, dan digunakan untuk pertama kalinya pada hari Jumat di tahun Ba. Apa itu tahun Dal dan tahun Ba, tidak ada seorangpun yang memahaminya secara pasti. Sebuah sumber menyatakan bahwa Dal adalah angka untuk tahun 1527. Apabila itu benar, maka usia mesjid Katangka yang sebenarnya adalah 76 tahun lebih tua dari yang sebenarnya.


Halaman belakang Masjid Katangka. Komplek makam Raja Gowa dan keluarganya.
Sementara prasasti yang terletak di puncak mimbar, tempat khatib Jumat, menceritakan pembuatan mimbar itu sendiri. Artinya kurang lebih, "Mimbar ini pertama kali dibuat pada Hari Jumat tanggal 2 Muharram 1303 (Hijriyah). Karaeng Katangka dan Karaeng Loloa menuliskan, sudah ditentukan (oleh Nabi Muhammad SAW) barang siapa berbicara padahal khatib sudah berada di atas mimbar, maka dia tidak akan memperoleh pahala Jumat.

Menurut Imam Masjid, Daeng Ngeppe, aktivitas di Masjid Tua Katangka tidak banyak yang berubah. Selain tempat salat wajib berjemaah, juga menjadi tempat belajar agama. Sekali seminggu digelar pengajian bagi majelis taklim. Pada malam Jumat, juga dilaksanakan majelis dzikir. Setiap harinya, anak-anak belajar mengaji yang dibagi dalam tiga waktu belajar, pagi, siang, dan malam. Tak ketinggalan di saat bulan Ramadan tiba, aktivitas bertambah dengan salat tarawih berjemaah.
 

Masjid Katangka: benteng di dalam benteng.


Seiring dengan renovasi, daya tampung masjid terus diperluas. Daeng Ngeppe memperkirakan saat ini masjid tersebut sudah bisa menampung sekitar 700-an jemaah. "Terakhir kita renovasi pada 2007 lalu. Bagian atasnya dibongkar karena konstruksi kayunya sudah lapuk di makan rayap," ujar Daeng Ngeppe. [V] Khairil Anas

----------

cara menikah orang makassar

Sebelum masuk pembahasan ane mau shared profil pottele/psk di Makassar.
1. Linda ( nama samaran)
Lihat profil ( foto & no. Hp tersedia)
2. Mawar ( nama samaran)
Lihat profil (no.hp tersedia)
---------------------------------------------

Pernikahan merupakan bagian terpenting dan dianggap sakral dalam kehidupan manusia yang beradab.Masyarakat Makassar meyakini bahwa, pernikahan adalah wadah tempat bersatunya dua keluarga besar.
 


Prosesi Pernikahan Ala Adat Makassar


Maka tidak mengherankan apabila pesta pernikahan dalam tradisi masyarakat  harus melibatkan seluruh keluarga besar dari kedua mempelai. Mulai dari saudara, kakak dan adik, paman dan bibi, serta para sesepuh seluruhnya ikut terlibat dalam mempersiapkan pernikahan bagi si mempelai. Selain melibatkan seluruh keluarga besar dari kedua belah pihak mempelai, tata cara upacara pernikahan adat Makassar juga harus melalui berberapa tahapan yaitu:

A'jangang-jangang
Dalam tahapan ini keluarga calon mempelai laki-laki melakukan penyelidikan secara diam-diam untuk mengetahui latar belakang dan keadaan pihak calon mempelai wanita.

Assuro
Tahap kedua adalah assuro yaitu acara pinangan atau lamaran. Dalam cara ini  secara resmi pihak calon mempelai pria menyatakan keinginannya kepada calon mempelai wanita. Di jaman dahulu, proses lamaran ini membutuhkan waktu berbulan-bulan dengan melalui  beberapa fase sebelum mencapai kesepakatan.

Proses lamaran ini membutuhkan waktu berbulan-bulan dengan melalui  beberapa fase sebelum mencapai kesepakatan


Appa'nassa
Selanjutnya setelah acara pinangan, dilakukan appa'nassa yaitu kedua belah pihak keluarga menentukan hari pernikahan. Dalam fase ini, juga diputuskan mengenai besarnya uang belanja yang harus disiapkan oleh keluarga calon mempelai laki-laki. Adapun besarnya uang belanja ditentukan menurut golongan dan status sosial dari sang gadis dan kesanggupan pihak keluarga pria.

Appanai’ Leko Lompoa
Cara ini dilakukan setelah pinangan diterima secara resmi, prosesi ini sama dengan prosesi pertunangan di daerah lain. Dalam tradisi Makassar, acara ini disebut A'bayuang, prosesinya berupa pengantaran passikko’ atau pengikat oleh keluarga mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai wanita, biasanya berupa cincin. Prosesi mengantarkan passikko’ diiringi dengan mengantar daun sirih pinang yang disebut Leko Ca’di. Namun karena pertimbangan waktu dan kesibukan, di jaman sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan acara Appa'nassa.

A'barumbung
Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai wanita. Biasanya berlangsung selama tiga hari.

Appasili Bunting
Sebelum acara ini dilakukan, keluarga calon mempelai wanita membuatkan tempat khusus berupa gubuk siraman yang telah ditata sedemikian rupa di depan rumah atau pada tempat yang telah disepakati bersama oleh anggota keluarga. Rangkaian dari upacara ini terdiri dari appasili bunting, a'bubu, dan appakanre bunting. Prosesi appasili bunting dilakukan sekitar pukul 09.00 – 10.00 pagi. Pemilihan waktu itu memiliki maksud agar calon mempelai wanita berada dalam kondisi yang segar bugar. Calon mempelai memakai busana yang baru/baik dan ditata sedemikian rupa. Acara ini dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan batin sehingga saat kedua mempelai mengarungi bahtera rumah tangga, mereka akan mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa dan dihindarkan dari segala macam mara bahaya.

Alat/Bahan yang Digunakan
Beberapa alat atau bahan yang digunakan dalam prosesi adat ini adalah:
•    Pammaja’ besar/Gentong.
•    Gayung/tatakan pammaja’.
•    Air, sebagai media yang suci dan mensucikan.
•    Bunga tujuh rupanna (tujuh macam bunga) dan wangi-wangian.
•    Ja’jakkang, terdiri dari segantang (4 liter) beras diletakkan dalam sebuah bakul.
•    Kanjoli’ (lilin), berupa lilin berwarna merah berjumlah tujuh atau sembilan batang.
•    Kelapa tunas.
•    Gula merah.
•    Pa’dupang.
•    Leko’ passili.

Prosesi Acara Appassili
Sebelum dimandikan, calon mempelai terlebih dahulu memohon doa restu kepada kedua orang tua di depan pelaminan. Lalu calon mempelai dituntun ke tempat siraman di bawah naungan payung berbentuk segi empat yang dipegang oleh empat orang gadis bila calon mempelai wanita dan empat orang laki-laki jika calon mempelai pria. Prosesi dimulai diawali oleh Anrong Bunting, setelah selesai dilanjutkan oleh kedua orang tua serta orang-orang yang dituakan (To’malabbiritta) yang berjumlah tujuh atau sembilan pasang.

Tata cara pelaksanaan siraman adalah air dari pammaja ataugentong yang telah dicampur dengan 7 (tujuh) macam bunga dituangkan ke atas bahu kanan kemudian ke bahu kiri calon mempelai dan terakhir di punggung, disertai dengan doa dari masing-masing orang yang diberi mandat untuk memandikan calon mempelai. Setelah keseluruhan selesai, acara siraman diakhiri oleh Ayahanda yang memandu calon mempelai mengambil air wudhu dan mengucapakan dua kalimat syahadat sebanyak tiga kali. Selanjutnya calon mempelai menuju ke kamar untuk berganti pakaian.

A’Bubu
Setelah berganti pakaian, calon mempelai selanjutnya didudukkan di depan pelaminan dengan berbusana Baju bodo, tope (sarung pengantin), serta assesories lainnya. Prosesi acara A’bubu (macceko) dimulai dengan membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang terdapat di ubun-ubun atau alis, acara ini dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias), yang bertujuan memudahkan dalam merias pengantin wanita, dan supaya   hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat dengan baik.

Appakanre Bunting
Appakanre bunting artinya menyuapi calon mempelai dengan makan berupa kue-kue khas tradisional Makassar, seperti Bayao Nibalu, Cucuru’ Bayao, Sirikaya, Onde-onde/ Umba-umba, Bolu Peca, dan lain-lain yang telah disiapkan dan ditempatkan dalam suatu wadah besar yang disebut Bosara Lompo. Acara Appakanre Bunting atau suapan calon mempelai yang dilakukan oleh  orang tua calon mempelai, ini merupakan simbol bahwa tanggung jawab orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami.

Akkorontigi
Sehari menjelang pesta pernikahan, rumah calon mempelai wanita telah ditata dan dihiasi sedemikian rupa dengan dekorasi khas makassar, yang terdiri dari:
•    Pelaminan (lamming);
•    Bantal;
•    Sarung sutera sebanyak 7 (tujuh) lembar yang diletakkan di atas bantal;
•    Bombong Unti (Pucuk daun pisang);
•    Leko Panasa (Daun nangka), daun nangka diletakkan di atas pucuk daun pisang secara bersusun terdiri dari 7 atau 9 lembar;
•    Leko’ Korontigi (Daun Pacci), adalah semacam daun tumbuh-tumbuhan (daun pacar) yang ditumbuk halus;
•    Benno’ (Bente), adalah butiran beras yang digoreng tanpa menggunakan minyak hingga mekar;
•    Unti Te’ne (Pisang Raja);
•    Ka’do’ Minnya’ (Nasi Ketan);
•    Kanjoli/Tai Bani (Lilin berwarna merah).

Acara Akkorontigi merupakan suatu rangkaian acara yang sakral yang dihadiri oleh seluruh sanak keluarga (famili) dan undangan. Acara Akkorontigi memiliki hikmah yang mendalam, mempunyai nilai dan arti kesucian dan kebersihan lahir dan batin, dengan harapan agar calon mempelai senantiasa bersih dan suci dalam menghadapi hari esok yaitu hari pernikahannya. Dalam ritual ini, mempelai wanita dipakaikan daun pacar ke tangan si calon mempelai. Masyarakat Makassar memiliki keyakinan bahwa daun pacar memiliki sifat magis dan melambangkan kesucian. Menjelang pernikahan biasanya diadakan malam pacar atau Akkorontigi, yang artinya malam mensucikan diri dengan meletakan tumbukan daun pacar ke tangan calon mempelai. Orang-orang yang diminta meletakkan daun pacar adalah orang-orang yang punya kedudukan sosial yang baik serta memiliki rumah tangga langgeng dan bahagia.

Setelah para undangan lengkap dimana sanak keluarga atau para undangan yang telah dimandatkan untuk meletakkan daun pacar telah tiba, acara dimulai dengan pembacaan barzanji atau shalawat nabi, setelah petugas barzanji berdiri, maka prosesi peletakan daun pacar dimulai oleh Anrong bunting yang kemudian diikuti oleh sanak keluarga dan para undangan yang telah diberi tugas. Satu persatu para handai taulan dan undangan dipanggil didampingi oleh gadis-gadis pembawa lilin yang menjemput mereka dan memandu menuju pelaminan. Acara Akkorontigi ini diakhiri dengan peletakan daun pacar oleh kedua orang tua tercinta dan ditutup dengan doa.

Malam korontigi dilakukan menjelang upacara pernikahan dan diadakan di rumah masing-masing calon mempelai.

Assimorong
Acara ini dilaksanakan di rumah mempelai wanita, dan merupakan acara akad nikah serta menjadi puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Makassar. Calon mempelai pria diantar ke rumah calon mempelai wanita yang disebut Simorong. Calon mempelai pria diantar oleh dua rombongan keluarga pria, dengan komposisi:

Petugas pembawa leko’ lompo (seserahan/erang-erang), yang terdiri dari:
•    Gadis-gadis berbaju bodo 12 orang yang bertugas membawa bosara atau keranjang yang berisikan kue-kue dan busana serta kelengkapan assesories untuk calon pengantin wanita.
•    Petugas pembawa panca terdiri dari 4 orang laki-laki. Panca berisikan 1 tandan kelapa, 1 tandan pisang raja, 1 tandan buah lontara, 1 buah labu kuning besar, 1 buah nangka, 7 batang tebu, jeruk seperlunya, buah nenas seperlunya, dan lain-lain.

Perangkat adat, yang terdiri dari:
•    Seorang laki-laki pembawa tombak.
•    Tiga orang anak kecil pembawa ceret.
•    Seorang lelaki dewasa pembawa sundrang (mahar).
•    Remaja pria 4 orang untuk membawa Lellu (payung persegi empat).
•    Seorang anak laki-laki bertugas sebagai passappi bunting.

Menyusul rombongan Calon mempelai Pria, yang terdiri dari:
•    Rombongan orang tua;
•    Rombangan saudara kandun;
•    Rombongan sanak keluarga;
•    Rombongan undangan.

Di masa sekarang, Assimorong dan prosesi Appanai Leko Lompo (seserahan) dilakukan bersamaan, maka rombongan terdiri dari dua rombongan, yaitu rombongan pembawa Leko Lompo (seserahan) dan rombongan calon mempelai pria bersama keluarga dan undangan.

Keluarga Calon Mempelai Wanita lalu keluar menjemput kedatangan rombongan calon mempelai pria, dengan komposisi sebagai berikut:
•    Dua pasang sesepuh dari calon mempelai wanita keluar menjemput  calon mempelai pria dan memegang Lola menuntun calon pengantin pria memasuki rumah calon pengantin wanita;
•    Seorang ibu yang bertugas menaburkan benno (sejenis pop corn dari beras) ke calon pengantin pria saat memasuki gerbang kediaman calon pengantin wanita.
•    Penerima erang-erang atau seserahan.
•    Penerima tamu.

Prosesi acara Assimorong
Setelah calon pengantin pria beserta rombongan tiba di sekitar kediaman calon pengantin wanita, seluruh rombongan diatur sesuai susunan barisan yang telah ditetapkan. Ketika calon pengantin pria telah siap di bawa Lellu, sesepuh dari pihak calon pengantin wanita datang menjemput dengan mengapit calon pengantin pria dan menggunakan Lola menuntun calon pengantin pria menuju gerbang kediaman calon pengantian wanita. Saat tiba di gerbang halaman, calon pengantin pria disiram dengan Benno oleh salah seorang sesepuh dari keluarga calon pengantin wanita. Kemudian dilanjutkan dengan dialog serah terima pengantin dan penyerahan seserahan leko lompo atau erang-erang. Setelah itu calon pengantian pria beserta rombongan memasuki kediaman calon pengantin wanita untuk dinikahkan. Kemudian dilakukan pemeriksaan berkas oleh petugas KUA dan permohonan ijin kepada kedua orang tua untuk dinikahkan, yang selanjutnya dilakukan dengan prosesi Ijab dan Qobul.

Ini merupakan simbol bahwa tanggung jawab orang tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami

Appabajikang Bunting
Prosesi ini merupakan prosesi menyatukan kedua mempelai. Setelah akad nikah selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam tradisi Makasar, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita. Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa (saling menyentuh). Sesudah itu, kedua mempelai bersanding di atas tempat tidur untuk mengikuti beberapa acara seperti penyerahan mahar atau mas kawin dari mempelai pria kepada mempelai wanita, pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh anrong bunting (pemandu adat). Hal ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga mempelai wanita. Setelah itu kedua mempelai menuju ke depan pelaminan untuk melakukan prosesi Appala’popporo atau sungkeman kepada kedua orang tua dan sanak keluarga lainnya, yang kemudian dilanjutkan dengan acara pemasangan cincin kawin, nasehat perkawinan, dan doa.

Allekka’ bunting
Acara ini sering disebut sebagai acara ngunduh mantu. Sehari sesudah pesta pernikahan, mempelai wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga diantar ke rumah orang tua mempelai pria. Rombongan ini membawa beberapa hadiah sebagia balasan untuk mempelai pria. Mempelai wanita membawa sarung untuk orang tua mempelai pria dan saudara-saudaranya. Acara ini disebut Makkasiwiang. [V]

-------------------------------------------

(  18 +) ane mau share video panas terbaru klik DISINI tunggu 5 detik terus klik skip add alamat menonton.

---------------------------------------------------

Rabu, 25 September 2013

kontroversi ballo ( minuman memabukkan khas makassar )

Sebelum masuk pembahasan ane mau shared profil pottele/psk di Makassar.
1. Linda ( nama samaran)
Lihat profil ( foto & no. Hp tersedia)
2. Mawar ( nama samaran)
Lihat profil (no.hp tersedia)
---------------------------------------------


segelas ballo
 


ballo adalah minuman khas dari makassar,,,

ballo sendiri terdiri dari beberapa macam yaitu ballo nipa, ballo tala` ballo inru' dan ballo ase. ballo nipa di buat dari sari pohon nipa, ballo tala` di buat dari sari pohon tala , ballo inru' dibuat dari sari pohon aren sedangkan ballo ase adalah ballo buatan , biasanya dibuat dari air perasan beras dan semanyamnya,
selanjutnya untuk menambah kandungan alkohol pada ballo ditambahkan kulit pohon yang ajun rahasiakan, takutnya teman2 anak-anak membuat sendiri ballo di rumah untuk mabok mabokan hahahahahah...........


teus...........

bagaimana pandangan masyarakat terhadap ballo..........?????????

seperti biasa ada yang pro dan ada yang kontra !!!!!

menurut kalangan yang pro terhadap ballo menganggap bahwa ballo adalah peninggalan leluhur yang harus di lestarikan dan sudah menjadi peninggalan budaya di makassar sendiri. bahkan menurut beberapa orang konon, dulu ballo itu dijadikan minuman sehari-hari untuk menghilangkan dahaga dan sebagainya.
sedangkan menurut masyarakat yang kontra terhadap ballo menganggap bahwa meminum ballo adalah budaya yang tidak baik dan harus dihindari pasalnya ballo dapat merusak kesehatan dan melenceng dari ajaran agama!!!!!!!!!

ballo sendiri sangat di mininati oleh masyarakat asli maupun masyarakat pendatang bukan hanya harganya yang terjangkau tapi katanya,, sekali lagi katanya ballo dapat menambah stamina dan menaikkan berat badan.

-------------------------------------------

(  18 +) ane mau share video panas terbaru klik DISINI tunggu 5 detik terus klik skip add alamat menonton.

---------------------------------------------------


Minggu, 22 September 2013

sejarah pantai losari makassar

Sebelum masuk pembahasan ane mau shared profil pottele/psk di Makassar.
1. Linda ( nama samaran)
Lihat profil ( foto & no. Hp tersedia)
2. Mawar ( nama samaran)
Lihat profil (no.hp tersedia)
---------------------------------------------

Sebelum dikenal sebagai Losari, warga Makassar menyebutnya Pasar Ikan. Dimasa itu banyak pedagang pribumi yang berjualan. Dipagi hari dimanfaatkan sebagai pasar ikan, sedangkan di sore hari dimanfaatkan pedagang lainnya untuk berjualan kacang, pisang epe dan makanan ringan khas Makassar lainnya.
Apa sebenarnya yang menarik dari fisik Pantai Losari? Infrastruktur utamanya saat ini telah dibangun merupakan sebuah jalan besar bernama Penghibur. Disisi yang sebelumnya adalah pembendung air berupa turap beton memanjang kini diperluas menjorok kedalam pantai. Terdapat Promenade luas berlatar pulau dan laut selat Makassar dan dibawahnya merupakan outlet buangan limbah kota. Dalam konteks pembangunannya, konsep yang sudah bertahan selama 60 tahun itu hanya diperbesar luasannya.
Diawali tahun 1945, bangunan tambahan pantai yang pertama dibuat. Desain lantai dasar beton sepanjang 910 meter digagas oleh Pemerintah Wali Kota Makassar, DM van Switten (1945-1946). Dimasa pemerintahan NICA tersebut, pemasangan lantai ditujukan untuk melindungi beberapa objek dan sarana strategis warga di Jalan Penghibur dari derasnya ombak selat Makassar.
Jadi, bisa diasumsikan bahwa pemberian nama Pantai ini pada saat dilakukan pembangunan pertamanya oleh Pemerintahan NICA namun makna kata Losari sendiri belum diartikan sampai saat ini. Apakah kata LOSARI itu berasal dari bahasa belanda atau bahasa Makassar..?
Dalam bingkai hakiki, “los”- “ari” bisa dimaknai secara sederhana sebagai kawasan lepas yang terselubungi oleh dua lapisan utama. Sebagai uraian harfiah maka kata Los, dalam bahasa Jawa punya ambigus makna. Maknanya berarti ia sebuah kawasan atau tempat untuk berjual-beli, sebagai toko-toko atau pasar yang terbagi-bagi menjadi beberapa los. Kemudian los, dalam konteks kejawaan, berarti terlepas atau udar. Mengingat bahwa kawasan Pantai ini dulunya memang adalah tempat berjualan. sedangkan untuk kata “ari” dimaknakan sebagai pembungkus dan penyuplai, seperti yang dimaknakan pada kata “ari-ari”.

-------------------------------------------

(  18 +) ane mau share video panas terbaru klik DISINI tunggu 5 detik terus klik skip add alamat menonton.

---------------------------------------------------

Rabu, 11 September 2013

hantu - hantu tanah bugis


Sebelum masuk pembahasan ane mau shared profil pottele/psk di Makassar.
1. Linda ( nama samaran)
Lihat profil ( foto & no. Hp tersedia)
2. Mawar ( nama samaran)
Lihat profil (no.hp tersedia)
---------------------------------------------

Masa kecil sungguh masa yang  indah untuk dikenang. Bukan saja kenangan yang manis-manis, bahkan kenangan tentang cerita - cerita yang menakutkan waktu kecilpun pun menjadi lucu dan indah untuk dikenang. Terlebih lagi kisah-kisah yang dulu ” menakutkan” semakin sulit untuk saya dapatkan, bukan karena orang -orang sekarang lebih rasional dan tidak percaya lagi tentang hantu, tetapi imajinasi tentang hantu di daerah saya (bugis) semakin terdegradasi oleh hantu yang lebih menasional.
Hantu masa kecil saya hanya dikisahkan secara turun temurun dari mulut ke mulut, menakut - nakuti anak kecil agar tidak nakal, agar berkumpul dirumah sebelum magrib tiba, dan tidak keluyuran lagi kalau malam. Hantu - hatu masa kecil saya tidak pernah terpublikasi seperti hantu- hantu yang lebih menasional, lewat film, uji nyali dan sebagainya. hantu - hantu masa kecil saya terancam punah, terdegradasi, tidak mampu bersaing dengan hantu- hantu populer sebagai selebritis di TV seperti pocong, tuyul dan kuntilanak.
Saya mencoba mengingat satu persatu hantu - hantu tersebut, membayangkan kembali imaginasi masa kecil saya yang terbentuk dari cerita orang - orang waktu saya kecil, meskipun sungguh saya belum pernah menjumpainya. Adapun hantu - hantu itu diantaranya :
1. Bombo petong
Bombo petong digambarkan bermuka jelek,hitam dan selalu menghuni tempat- tempat gelap. anak kecil biasanya di takut- takuti dengan bombo petong jika mau ke tempat yang gelap ” onroko, engkatu bombo petong” artinya awas, ada Bombo petong.
2.Dongga/ Longga
Dongga/longga diimaginasikan sebagai hantu dengan tubuh berbentuk bayangan hitam yang sangat tinggi, bisa setinggi pohon kelapa. Hobbynya menyembunyikan anak kecil setelah malam tiba. Anak yang disembunyi bisa jadi ada di sekitar rumah tapi tidak bisa dilihat oleh orang yang mencarinya. Katanya anak- anak yang di culiknya di beri makan kaki seribu, cacing dan binatang menjijikkan lainnya dan anak- anak melihatnya sebagai gula-gula.
3. Asu Panting
Asu panting adalah serigala versi bugis, dia memiliki kemampuan lari yang sangat cepat, dua kaki depannya lebih pendek dari kaki belakangnya. jika orang bugis jaman dulu melihat kangguru pasti langsung mengklaim asu panting. tidak ada orang yang pernah bertemu langsung dengan asu panting ini, orang hanya bisa mendengar lolongannya yang khas waktu malam. yang berbahaya dari asu panting adalah bulunya yang berguguran, bulunya sangat halus sehingga tdk bisa terlihat oleh mata kepala, jika kita menginjak bulunya maka kaki kita akan bengkak dan sulit untuk disembuhkan. orang di kampung yang melihat kaki orang diabetes pasti mengklaim sudah injak bulu asu panting.
4. Parakang
Parakang adalah manusia yang memiliki ilmu siluman baik didapat karena salah belajar ilmu kebatinan atau yang diperoleh dari keturunan. Parakang sangat berbahaya untuk anak kecil atau ibu- ibu yang sedang melahirkan karena merupakan makanan kegemarannya. tanda- tanda orang yang diisap parakang adalah sakit perut, keluar darah saat buang air, jika tak tertolong bisa meninggal. Parakang bisa mengubah dirinya menyerupai binatang atau benda. kadang berwujud seperti kucing yang tidak punya ekor, angsa putih, tempat ayam mengeram (ampoti), jika berlari dia akan menjadi bayangan putih yang memanjang. Dalam kondisi berubah wujud seperti itu, jasad manusianya (parakang) tetap dirumah dalam keadaan tertidur, jiwanya yang berjalan kesana kemari, jika kita memukul jiwanya yang berwujud hewan, maka jasadnya yang dirumah akan kesakitan. Cerita tentang parakang sepertinya sulit untuk dilupakan, karena masyarakat bugis masih sangat mempercayainya.
5. Poppo
Poppo sejenis dengan parakang namun perbedaannya adalah poppo bisa terbang dengan menyimpan isi dalam tubuhnya dirumah. yang diincar oleh poppo adalah orang sakit yang sudah parah. meskipun sejenis dengan parakang, orang percaya bahwa keduanya tidak akur, sehingga daerah yang banyak dihuni poppo tidak dihuni parakang.

-------------------------------------------

(  18 +) ane mau share video panas terbaru klik DISINI tunggu 5 detik terus klik skip add alamat menonton.

---------------------------------------------------